Berikut ini
adalah Kisah Kehidupan Fathimah binti Abdil Malik bin Marwan, istri Khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang begitu termasyhur dalam sejarah Islam. Kisah hidup
beliau yang disampaikan oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib di dalam
Muqaddimah Adabuz Zifaf ini sungguh mengesankan, dan tidak ada pertanyaan yang
patut dilontarkan kepada para muslimah berkenaan dengan cerita ini melainkan,
“Bisakah kalian meniru beliau?” Syaikh Muhibbudin Al-Khatib rahimahullah
menuturkan,
“Di saat
menikah, Fathimah binti Amirul Mukminin (Abdul Malik bin Marwan) adalah anak
dari seorang ayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi atas wilayah Syam, Iraq,
Hijaz, Yaman, Iran, Sindustan, Kaukasus, Qaram (?????), hingga belakang sungai:
arah timur: Nigeria dan Genova, arah barat: Mesir, Sudan, Libya, Tunisia,
Aljazair, Maroko Aqsa, dan Spanyol Barat.
Fathimah
bukan saja putri khalifah tertinggi, tetapi juga saudara perempuan empat
khalifah Islam: Al-Walid bin Abdil Malik, Sulaiman bin Abdil Malik, Yazid bin
Abdil Malik, dan Hisyam bin Abdil Malik. Dan lebih dari itu, beliau adalah
isteri dari khalifah paling agung yang dikenali Islam sesudah para khalifah di
awal Islam, yaitu Amirul Mukminin Umar bin Abdil Aziz.
Wanita utama
ini merupakan anak perempuan khalifah, isteri khalifah, dan saudari empat
khalifah. Beliau keluar dari rumah ayahnya ke rumah suaminya di hari pernikahan
dalam keadaan membawa berlimpah-ruah harta paling berharga yang dimiliki oleh
seorang perempuan di atas permukaan bumi, berupa perhiasan dan intan permata.
Ada yang mengatakan bahwa di antara perhiasannya itu dua anting Maria yang begitu
masyhur dalam sejarah dan sering disenandungkan oleh para penyair.
Rumah tangga
Umar bin Abdil Aziz dan istrinya berlangsung di rumah ayah Fathimah yang hidup
dalam kenikmatan. Tiada seorang pun perempuan di dunia masa itu yang mempunyai
kehidupan yang lebih dibandingkan Fathimah. Andaikan dia mau meneruskan gaya
hidupnya di rumah suaminya maka tentu bejananya setiap hari dan setiap saat
makan akan penuh dengan makanan yang paling enak, paling langka, dan paling
mahal. Bila ingin menikmati segala macam kenikmatan yang dikenali manusia,
niscaya beliau akan mampu melakukannya.”
Syaikh
Muhibbuddin kemudian mengatakan,
“Yang saya sampaikan berikut bukanlah omong kosong kalau sesungguhnya kehidupan megah dan mewah sangat mungkin akan merugikan kesehatan orang-orang kaya, sementara orang-orang sederhana bisa menikmati kesehatan. Kehidupan yang megah bisa menyebabkan seseorang mendapatkan rasa dengki, hasad, dan kebencian orang-orang miskin. Ditambah lagi, bagaimana pun cerianya kehidupan (yang mewah) lama kelamaan pun menjadi biasa dan membosankan. Apabila orang-orang yang mendapatkan puncak kenikmatan lantas bertemu dengan keadaan fakir maka jiwa mereka pun meminta lebih dari itu, dan mereka pun tidak sanggup mendapatkannya.
Sedangkan
orang yang hidup seimbang mengetahui bahwa tangan mereka bisa meraih apa yang
lebih dari keadaan mereka dan mereka bisa mendapatkannya kapan pun mereka mau.
Hanya saja mereka lebih memilih membebaskan diri darinya dan dari segala
kebutuhan mewah agar mereka bisa lebih tinggi di atasnya dan agar mereka tidak
menjadi budak syahwat.
Oleh karena
itu, Khalifah Agung Umar bin Abdil Aziz memilih –dalam keadaan beliau sebagai
raja terbesar di muka bumi saat itu- menetapkan pengeluaran rumah tangganya
hanya beberapa dirham setiap harinya. Sang isteri Khalifah, anak Khalifah, dan
saudari empat khalifah itu juga ridha dengan keadaan ini. Fathimah pun menjadi
sosok wanita yang dikagumi karena dia bisa menikmati rasa lezat qana’ah dan
bersenang-senang dengan manisnya kesederhanaan. Sehingga lezat dan manisnya
qanaah ini lebih enak dan memuaskan bagi beliau bila dibandingkan dengan semua
kemewahan dan kemegahan yang sebelumnya beliau kenali.
Suami
beliau, Umar bin Abdul Aziz pun kemudian menasehati beliau untuk naik dari
sifat kekanak-kanakan, meninggalkan semua permainan dan barang rendahan yang
dulu elok (berupa perhiasan mewah –ed.) bagi dua telinga, pundak, rambut, dan
pergelangan tangannya, hal-hal yang sebenarnya tidak memberikan manfaat sama
sekali yang apabila kemewahannya itu dijual, maka harganya akan bisa
mengenyangkan perut para rakyat; kaum pria, wanita, maupun anak-anak.
Fathimah
menyambut usul suaminya. Beliau beristirahat dari beratnya perhiasan, intan
permata, dan mutiara yang telah dia bawa dari rumah ayahnya. Semuanya dia kirim
ke Baitul Mal untuk kepentingan kaum muslimin.
Setelah itu
Amirul Mukminin pun wafat tanpa meninggalkan apa-apa bagi isteri dan
anak-anaknya. Penanggung jawab Baitul Mal datang kepada Fathimah dan berkata
kepadanya, “Wahai tuanku, sesungguhnya intan permatamu masih senantiasa seperti
keadaannya semula. Sesungguhnya saya memandangnya sebagai barang amanah darimu,
makanya saya simpan dengan baik hingga hari ini. Saya datang untuk meminta
izinmu untuk mengembalikannya.”
Namun apa
jawab Fathimah? Beliau menjawab kalau dirinya telah menghibahkannya ke Baitul
Mal untuk kepentingan kaum muslimin sebagai ketaatan kepada Amirul Mukminin.
Beliau katakan, “Aku tidak mau menaatinya ketika dia masih hidup lantas
menentangnya ketika dia sudah wafat”.
Fathimah
enggan menarik kembali harta yang halal dan warisannya yang bernilai milyaran
itu, walaupun pada saat itu beliau butuh beberapa dirham. Oleh karena itulah
Allah menuliskan kekekalan nama bagi dirinya (namanya tetap dikenang sampai
saat ini –). Dan termasuklah kita saat ini menyebutkan tentang harta bendanya
yang melimpah dan ketinggian derajat beliau, sedangkan kita sudah terpisah
berabad-abad darinya. Semoga Allah merahmati beliau dan meninggikan
tingkatannya di surga kenikmatan.
Sesungguhnya
kehidupan yang paling enak ialah kehidupan sederhana dalam segala sesuatu.
Betapa pun suatu kehidupan itu kurang atau nikmat maka kalau orangnya menjalani
terus dia akan merasa biasa. Kebahagiaan itu ada di saat ada perasaan ridha,
dan orang yang merdeka ialah orang yang bebas dari semua yang tidak dia
butuhkan. Inilah kekayaan dalam pengertian Islam dan kemanusiaan, semoga Allah
menjadikan kita termasuk di dalamnya.” Amiin